Yodha Media Indonesia – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali membuat gebrakan dalam kebijakan perdagangannya. Dalam pernyataan terbarunya, Trump menunda penerapan tarif impor Jilid II yang seharusnya mulai berlaku pada Rabu, 9 April 2025.
Penundaan ini diberikan selama 90 hari kepada 75 negara mitra dagang, termasuk Indonesia—namun tidak berlaku bagi China.
Meski menunda pemberlakuan tarif baru, Trump tetap menetapkan tarif impor minimum sebesar 10 persen untuk seluruh negara dalam daftar, termasuk Indonesia yang dikenakan tarif hingga 32 persen. Langkah ini disebut sebagai bentuk "penghargaan" terhadap negara-negara yang tidak melakukan tindakan balasan terhadap kebijakan perdagangan AS.
"Karena negara-negara itu tidak menyerang balik AS," tulis Trump dalam akun resminya di Truth Social pada Kamis, 10 April 2025.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam masa penundaan ini, AS juga akan menurunkan tarif timbal balik menjadi 10 persen, efektif seketika.
Trump menyebut banyak negara yang saat ini tengah menjalin komunikasi aktif dengan pemerintah AS, khususnya dengan Departemen Perdagangan, Departemen Keuangan, dan Perwakilan Dagang AS, sebagai alasan tambahan di balik penundaan tarif tersebut.
Namun, kebijakan berbeda diterapkan terhadap China. Trump justru menaikkan tarif impor terhadap Negeri Tirai Bambu itu menjadi 125 persen, meningkat tajam dari sebelumnya 104 persen. Kenaikan ini merupakan respons terhadap penolakan China untuk bernegosiasi dan langkah-langkah balasan yang diambil oleh Beijing.
"Berdasarkan kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan Tiongkok terhadap pasar dunia, saya dengan ini menaikkan tarif yang dikenakan kepada Tiongkok oleh Amerika Serikat menjadi 125 persen, berlaku segera," tegas Trump.
Sebagai informasi, sebelumnya AS telah menerapkan tiga gelombang tarif terhadap China: 20 persen pada gelombang pertama, 34 persen pada gelombang kedua, dan tambahan 50 persen setelah China melancarkan serangan balik dengan tarif 84 persen. Kini, perang dagang antara kedua raksasa ekonomi dunia itu kembali memanas.
Kebijakan ini diprediksi akan berdampak signifikan terhadap arus perdagangan global, termasuk Indonesia yang harus bersiap menghadapi tarif impor baru dalam waktu dekat.